Beberapa waktu terakhir kabar sedih datang dari kancah kesenian lokal. Tari topeng Randegan, yang merupakan tari tradisional khas Majalengka sudah tidak ada lagi penerusnya. Warisan budaya asli dari Desa Randegan Kabupaten Majalengka ini regenerasinya mandek.
Selentingan ini ramai menjadi pembicaraan publik selepas Sandiaga Uno menyatakan keprihatinannya. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif itu mengungkapkan bahwa punahnya tarian ini menjadi tugas besar bagi Indonesia. Ia juga mengarahkan untuk para pegiat seni menggelar festival tari topeng khusus di daerah tersebut sebagai upaya menggeliatkan kembali kesenian lokal.
Kita tentu kecewa dan barangkali naik pitam jika mendengar kabar bahwa warisan budaya kita terancam lenyap. Seperti halnya wayang kulit yang sempat menjadi perbincangan publik seni karena dinyatakan hampir punah.
Punahnya sebuah warisan budaya erat kaitnya dengan regenerasi para penerusnya. Namun untuk mengamati bagaimana sebuah peninggalan budaya tak lagi hidup bukan melulu lantaran kemalasan generasi muda untuk melestarikannya. Banyak faktor yang perlu ditilik ulang.
Pernyataan Sandiaga Uno patut menjadi perhatian, khususnya terkait bagaimana pemerintah memberi dukungan terhadap pelestarian tradisi lokal. Ada andil besar, yakni terkait pemberdayaan para seniman dan pegiat kesenian tersebut. Barangkali, Tari Topeng Randegan luput dari pemberdayaan ini. Dilansir dari Detik, salah satu seniman lokal Majalengka bernama Darto mengatakan bahwa mereka kesulitan saat ingin menampilkan tarian itu karena tak ada personil yang akan pentas.
Wayang kulit kini mulai dilestarikan kembali justru setelah nasibnya di ujung tanduk. Masyarakat mulai menyadari pentingnya menjaga warisan tersebut hanya setelah ia diakui di kancah internasional sebagai warisan budaya dunia non- benda. Setelahnya penulisan dan penelitian tentang wayang kulit kian gencat. sehingga pengarsipan warisan budaya ini mulai berkembang. Pencatatan arsip ini juga yang luput dari perhatian, sebab secara tak langsung hal ini juga menjadi pemantik respons publik terhadap kesenian, khusunya tari topeng. sejarah dan informasi utuh tentang sebuah kesenian tentu dibutuhkan untuk generasi penerus.
Kabar tentang punahnya Tari Topeng Randegan ini pun, pada akhirnya membuat kita melihat dari dua sisi. Pertama, regenerasi yang berhenti karena tak ada pelestarinya. Kedua, menurut pernyataan Darto, hal ini merupakan dampak dari ego para pelaku seni yang terdahulu. Seringkali terdapat sentimen apabila generasi yang lebih muda berupaya meneruskan kesenian Randegan ini, dimana muncul persaingan antar kelompok seni. Selain itu mitos yang menyatakan bahwa syarat menjadi penari topeng adalah trah seorang dalang menjadi tantangan tersendiri.
Kedua hal ini sebenarnya saling berkelindan. Regenerasi yang mandek dan sentimen antar pelaku seni, keduanya berpangkal pada nilai apresiasi yang diberikan, baik dari pemerintah maupun publik seni secara luas. Budaya menonton dan mengapresiasi seni perlu menjadi perhatian utama.
Penulis: Dina T Wijaya